RetroNix Clock

Jumat, 08 Mei 2009

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

BEBERAPA bulan lalu saya sering beranjangsana ke salah satu lembaga legislatif daerah yang berada di negeri tetangga Republik Mimpi. Suatu siang ba’da Dzuhur, seorang anggota Sekretaris Dewan (Sekwan) yang biasa mengurus permasalahan persidangan berpapasan dengan saya di tangga. Dia baru saja keluar dari ruang sidang. Wajahnya tampak masam. Saya beri salam kepadanya.
Dengan muka serius, tanpa ditanya, bapak tersebut berkata, “Saya baru saja disuruh keluar oleh anggota. Mereka pleno di dalam, tetapi tak seorang pun selain anggota dewan yang boleh mengikuti pleno. Kami, semua sekwan, disuruh keluar”
Sidang pleno adalah sidang yang dihadiri oleh seluruh anggota dewan, termasuk pimpinan fraksi, pimpinan komisi, dan juga pimpinan dewan itu sendiri. Biasanya, dalam pleno ada beberapa anggota sekwan yang ikut sidang untuk mengurus bermacam-macam keperluan sidang seperti menyiapkan notulensi rapat, mengetik resume, menjaga sound-system agar tidak krodit, dan lainnya. Namun kali ini pleno agaknya istimewa. Sangat mungkin, yang dibahas materinya bersifat sangat rahasia sehingga hanya anggota dewan terhormat yang boleh tahu.
Dengan kerdipan mata, bapak anggota sekwan tersebut berbisik kepada saya. “Tapi kita juga akan tahu apa isi rapat itu Pak. Diam-diam saya sudah tekan tombol on di mic mereka, jadi seluruh isi pembicaraan di dalam otomatis akan terekam. Mereka tidak mau tahu yang seperti itu.”
Begitulah. Sidang yang penuh rahasia tersebut telah berakhir. Saya sebenarnya tidak mau ikut campur apa yang telah dibahas. Beberapa hari kemudian, ketika saya bertemu lagi dengan si bapak anggota sekwan itu, tanpa ditanya dia yang memang sudah akrab dengan saya bercerita. “Pak, ada berita baru. Kemarin, mereka semua ternyata membahas laporan pertanggungjawaban Pimpinan Eksekutif di kota ini. Mereka bilang bahwa jika LPJ itu mau mulus finalisasinya, maka masing-masing anggota minta Avanza satu buah. Semua anggota minta itu kecuali seorang yang memang anti dengan yang begituan. Cuma seorang yang menolak. Jika tidak diberikan, maka LPJ-nya akan diganjal.”
Saya terkejut. Masak sih? Bukankah ada banyak anggota di gedung itu yang selama ini dikenal anti yang seperti itu? Saya terus terang tidak percaya.
Bapak anggota sekwan itu tersenyum, “Ya kenyataannya demikian Pak. Jika Bapak tidak percaya, saya masih menyimpan rekaman sidangnya. Lengkap Pak.”
Sore itu saya pulang dengan hati yang masygul. Ada rasa tidak percaya namun itulah kejadiannya. Saya ingat satu pepatah, “Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang berhembus.” Ya, jika pohon itu tidak kokoh, maka ia akan ikut berlenggak-lenggok mengikut ke mana hembusan angin bertiup.
Di sisi lain saya juga bersyukur. Ya, saya bersyukur masih bisa menghidupi keluarga saya, menyekolahkan dan membesarkan anak, membeli buku-buku, dan sebagainya dari uang halal hasil dari ikhtiar saya sendiri. Saya sangat bersyukur Allah SWT telah memberikan saya keterampilan menulis cepat dan hasrat membaca yang kuat, sehingga dengan ini saja kami bisa hidup, walau tidak mewah.
Sahabat saya yang sering bersama-sama dalam banyak kesempatan malah berkata, “Saya tidak mau jadi anggota dewan. Bukannya apa-apa. Kalau saya jadi seperti mereka, saya takut lebih pintar cari duit ketimbang mereka.” Dia tertawa lepas. Sahabat saya ini adalah seorang pengusaha yang pernah memiliki belasan perusahaan. Namun karena terlalu baik, sekarang dia hanya mengelola sisa-sisanya. “Rezeki nggak akan tertukar, ” demikian alasannya mengapa dia terlihat selalu enjoy.
Beberapa hari setelah peristiwa itu saya kembali bertemu dengan anggota Sekwan, namun bukan si bapak tadi. Kali ini seorang perempuan berkerudung, salah seorang pimpinan sekwan yang saya tahu pasti juga rakus terhadap uang. Dia “tidak korupsi”, tetapi terbiasa melakukan mark-up biaya dan menyunat anggaran. Dari proyek-proyek yang ada, secara terus terang dia selalu minta bagian 30 persennya.
“Sebagian dari yang 30% itu buat dana THR anggota dewan, kitalah yang harus menyediakan. Karena dalam anggaran yang resmi kan kita tidak boleh ada pos untuk THR, ” kilahnya.
Saya kembali prihatin dan bersyukur. Prihatin karena untuk merayakan Iedul Fitri saja yang seharusnya kembali kepada kesucian, ternyata uangnya berasal dari “comberan”. Ini jelas tidak benar. Dan saya bersyukur tidak seperti itu. Tapi sudahlah, ini memang kenyataannya. Saya bukanlah siapa-siapa dan ingin tetap memelihara prasangka baik terhadap mereka.
Suatu hari, saya dan sahabat saya yang pengusaha itu menengok seorang Ustadz yang baru saja sembuh dari sakit panjangnya. Dia yang juga anggota dewan, tingkat pusat malah, berkata kepada kami, “Di sana (maksudnya di institusi legislatif pusat), semua macam godaan tersedia. Dari yang kecil, sampai yang sangat besar. Dari benda mati hingga yang hidup. Jika dahulu kita paling menemui ujian seputar pengajian, maka sekarang ini segalanya ada. Saya berani bilang, semua anggota itu sakit. Ya sakit fisik ya sakit jiwanya…”
Kepada orang yang sangat saya hormati ini, saya berpesan, “Sudahlah tad, apa yang ada di sana jangan terlalu dipikirkan. Kami tidak mau kehilangan orang yang menjadi penjaga moral dakwah ini lagi setelah Allahuyarham Ustadz Rahmat Abdullah tiada. Mudah-mudahan Allah SWT menguatkan kita semua, wabil khusus saudara-saudara kita itu agar bisa kembali kokoh sebagai Rijal ad Da’wah. Semoga mereka bisa sungguh-sungguh berperan sebagai penjaga al-haq di sana, yang mampu mewarnai institusi itu dengan Sibghatullah, bukan malah terwarnai dengan Sibghatusyaiton yang memang sudah lama bercokol di sana.”
Perjuangan memang masih sangat panjang. Dan saya lebih memilih jalan yang sunyi, bukan jalan gerombolan. Saya lebih menyukai sniper, bukan infanteri.
(Medio awal Februari 2008) (Sumber: www.eramuslim.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar