RetroNix Clock

Kamis, 07 Mei 2009

sejarah indonesia

MUNGKIN tidak banyak yang mengetahui kapan lahirnya istilah Indonesia. Bahkan, yang melahirkan istilah itu sendiri juga tidak pernah tahu bahwa nama yang ia ciptakan itu di kemudian hari akan menjadi nama bangsa dan negara yang menurut The Essensial di usianya yang ke 200 nanti, yakni di Tahun 2050 akan menjadi negara yang memiliki kekuatan ekonomi ke-5 dari Big The G-Five setelah Uni Eropa dan mengalahkan Jepang.

Menurut majalah ilmiah tahunan yang diterbitkan di Singapura, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) Volume IV Tahun 1850 pada halaman 254 dalam tulisan James Richardson Logan, orang Skotlandia yang memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Edinburgh disebutkan “Mr. Earl (Samuel Wilson Earl, ahli etnologi bangsa Inggris) suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favor of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or Indian Archipelago”. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapanya lebih baik. Maka, lahirlah istilah “Indonesia”.

Indonesia yang sebelumnya merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu, pertama kali digunakan oleh putra ibu pertiwi Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) untuk menyebut biro pers yang didirikan ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913, Indonesische Pers-bureau. Kemudian pada dasawarsa 1920-an dipakai oleh tokoh-tokoh kemerdekaan di tanah air, sehingga nama Indonesia memiliki makna politis, yaitu identitas bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Dan pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad, DPR zaman Belanda, yaitu Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutadjo Kartohadikusumo mengajukan mosi kepada pemerintah Belanda agar nama Indonesia diresmikan sebagai pengganti nama Netherlansch-Indie, tetapi ditolak.

Kini Indonesia telah 62 tahun merdeka, 10 tahun yang lalu kita dilanda krisis multi dimensi yang kemudian memberi hikmah lahirnya “pemerintahan reformasi”. Semuanya sependapat bahwa pembangunan ekonomi yang ber-alas stabilitas politik dan meninggalkan pembangunan hukum telah membuat para pelaku kekuasaan, aparatur dan pelaku usaha bertindak moral hazard dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara ter-korup di dunia dan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Karena itu the rule of law and the living ethics harus dijadikan prinsip dasar bagi negara Indonesia yang sejak awal kemerdekaannya memang menyebut dirinya sebagai negara hukum, dimana kepemimpinan negara terdapat pada hukum bukan kepada orangnya. Hukum disini adalah, suatu kesatuan sistem aturan main yang berpuncak pada konstitusi yang ada. Maka, sesuai dengan prinsip supremasi hukum dan supremasi konstitusi, posisi pemimpin negara sesungguhnya cerminan konstitusi.

Meskipun demikian harus disadari bahwa peranan individu atau kelompok yang mengendalikan kekuasaan akan menjadi kunci penting bagi suksesnya pembangunan hukum dan pelaksanaan supremasi hukum. Dalam konteks ini hukum yang dibangun haruslah hukum yang melindungi segenap bangsa, segenap rakyat dan segenap individu dari perlakukan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang, karena diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar kita bahwa negara berkewajiban untuk itu.

Ke depan, kita semua bersyukur bahwa Presiden SBY sejak awal pemerintahannya telah menegaskan sikapnya untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Ini tentu merupakan langkah nyata amanat reformasi dan sekaligus koreksi pemerintahan masa lalu.

Namun Presiden tentu tidak bisa mengemban amanat itu sendirian. Kita semua memiliki kewajiban dan bertanggung jawab untuk itu, agar harapan keadilan hukum dan keadilan sosial dapat diwujudkan. Kita juga sepakat bahwa right or wrong is my country. So let us assure that our country is right and not wrong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar