RetroNix Clock

Kamis, 07 Mei 2009

korupsi

AWALNYA diartikan sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi. Kata itu berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus, yang kemudian dalam bahasa Inggris dan Perancis ditulis corruption, dan dalam bahasa Indonesia disebut korupsi. Sehingga jika dikaitkan dengan perilaku mereka yang berbuat, korupsi yang dalam bahasa Belanda disebut kurruptie merupakan tindak kejahatan yang dimasukan dalam ranah hukum pidana.

Istilah korupsi pertama kali dipergunakan dalam hukum Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang No. Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian, dimasukan juga dalam UU No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini dicabut dan diganti dengan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjunya diganti dengan UU No.31 Tahun 1999, dan terakhir diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Selain berbagai ketentuan tersebut, masih banyak lagi peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang dibuat untuk mencegah perbuatan korupsi. Padahal, mengenai upaya melawan korupsi, meskipun masih sederhana, seperti yang disebut dalam KUHP, sudah dimulai sejak penjajahan Belanda sejalan dengan perkembangan zaman. Namun sebagaimana kita saksikan bahwa salah satu isu yang menjatuhkan Orde Lama maupun Orde Baru adalah membudayanya korupsi, bahkan Indonesia saat ini masih digolongkan sebagai negara terkorup di dunia.

Yang luar biasa, menurut Transparency International para pelaku utamanya adalah mereka yang memiliki posisi strategis dan terhormat di lembaga-lembaga penegak hukum dan DPR. Karena itu wajar jika pemberantasan korupsi sulit dilakukan. Bahkan, tidak jarang kita melihat di lembaga-lembaga tersebut, para pelaku korupsi bisa melakukan money-laundering melalui penghentian penyidikan ataupun putusan bebas.

Kesulitan lain melawan korupsi adalah pengembalian aset hasil kurupsi yang dilarikan atau disembunyikan di negara lain. Karena perbedaan sistem hukum dan atau belum terbukanya kerjasama antar negara untuk hal itu. Sehingga, kejahatan korupsi yang semula merupakan masalah domestik suatu negara tertentu, kini menjadi masalah internasional, seiring dengan sifat korupsi yang berubah menjadi kejahatan transnasional.

Untuk itu selaku badan dunia, Perserikatan Bangsa Bangsa merasa perlu untuk memfasilitasi kerjasama antar-negara dalam pemberantasan korupsi, melalui negara-negara pihak penandatangan konvensi anti korupsi (UNCAC/United Convention Against Corruption). Di mana salah satu tujuannya membangun kerjasama dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, agar tidak terjadi perbedaan sistem hukum diminta kepada negara-negara yang telah meratifikasi segera menyesuaikan dengan ketentuan dalam konvensi tersebut.

Sejak tahun 2006 UNCAC merencanakan mengadakan konferensi tahunan. Maka, untuk menepis keraguan berbagai lembaga swadaya masyarakat atas kesungguhan pemerintah melawan korupsi, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Anti-Korupsi Sedunia ke-2, yang sebelumnya diselenggarakan di Oman, Yordania. Dalam forum ini secara tegas Presiden SBY menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk bersatu melawan tindak pidana korupsi. Pintanya, perbedaan sistem hukum antar-negara yang sering jadi penghalang dalam pengembalian aset (asset recovery), seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang tidak berarti dibanding dampak merusak dari korupsi.

Namun sebagaimana diketahui di akhir konferensi, bahwa seruan Indonesia yang didukung oleh kelompok G-77 dan Cina atau negara-negara berkembang itu tidak mendapat dukungan negara-negara maju di mana aset jarahan para koruptor itu disimpan. Meski demikian kita tidak boleh patah arang, perang melawan korupsi tetap harus dikobarkan karena telah menjadi kanker di semua bidang kehidupan, sekaligus untuk menghapus rasa malu bangsa yang berpredikat terkorup di dunia. From the start, if we want to win this war, we have to wage sustained, systemic and indiscriminate efforts that would be armed by political commitment from the top and across all sectors.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar