RetroNix Clock

Selasa, 12 Mei 2009

pengalaman naik lokomotip eksekutip dengan 25000

pada liburan semester 1 saya main ke jakarta. maklum anak ising dan saya un mencoba naik lokomotip tasaka malam yang setart di mulai dari setasiun tugu. meskipun penjagaan ktan saya pun nekat mencoba untukcari penalaman. setelah saya berhasil naik sayapun kaget ternata di dalam sudah penumpang gelap seperti saya ini. kagetnya lagi dengan uang 50000 ribu sudah sampai jakrtadenan turun tak di setasiun. saya mendapatpengalan bahwa apabila kita naiklokomotip ternyata bisa turun di tengah jalan[tikusgila]

PT KA N PERUSAHAA TERKORUP

1 PT Kereta Api Indonesia pada 2005 melakukan transaksi penjualan aktiva tetap yang sudah tidak terpakai, yakni besi tua kelas super, tembaga, dan kuningan seberat 3.995.753 kilogram kepada Yayasan Pusaka. Yayasan ini merupakan yayasan yang berdiri di lingkungan PT KAI.

Kerjasama tersebut melalui penandatanganan kontrak perjanjian jual beli persediaan tidak terpakai nomor 45/HK/KU/2005. Untuk nilai kontrak diatas, PT KAI sepakat untuk menjual perkg besi tua kelas super dengan berat 3.980.392,53 dengan harga Rp 1.225 per kilogram. Untuk tembaga, dihargai Rp 16.060 per kilogram, dan untuk kuningan disepakati harga Rp 7.250 per kilogram.

Pada tahun 2006, PT KAI kembali melakukan kerjasama jual beli persediaan tidak terpakai dan barang bekas berupa besi tua dengan Yayasan Pusaka melalui kontrak nomor HK.213/VI/1/KA-2006. Nilai kontrak adalah Rp 852,50 perkg untuk jumlah keseluruhan barang mencapai 13.169.921 kg.

Dalam realisasinya, baik untuk kontrak tahun 2005 maupun tahun 2006 terjadi permasalahan, yakni tidak semua barang dapat diserahkan oleh PT KAI kepada Yayasan Pusaka sehingga terjadi penyesuaian. Masalah tersebut dapat diketahui dari rapat pembahasan oleh Direksi PT KAI pada tahun 2007, tepatnya pada Selasa, 14 Agustus 2007.

Masalah yang muncul dalam kedua kontrak tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

Pertama, untuk kontrak pada tahun 2005 (Nomor 45/HK/KU/2005) yang ditandangani oleh Kasubdit Sediaan atas surat kuasa Direktur PT KAI dengan PYMT Ketua Dewan Pimpinan Harian Yayasan Pusaka diketahui bahwa pelaksanaan penyerahan barang tidak sesuai dengan perjanjian. Hal ini karena terdapat perintah dari Kepala SPI No. SPI/1/172/VII/2005 tanggal 22 Juli 2005 yang meminta penyerahan barang dihentikan terlebih dahulu. Atas perintah tersebut, realisasi volume penyerahan barang tidak seluruhnya dapat dipenuhi sebagaimana tertera dalam kontrak.

Kedua, untuk pelaksanaan pembayaran kontrak diatas, dengan nilai transaksi sesuai realisasi sebesar Rp 2.801.136.570,00 baru dibayarkan oleh Yayasan Pusaka sebesar Rp 1.222.800.845,00 sehingga masih ada kekurangan pembayaran sebesar Rp 1.578.335.725.

Demikian halnya untuk kontrak pada tahun 2006, terjadi dua permasalahan yang sama dengan kontrak pada tahun 2005, yakni pelaksanaan penyerahan barang tidak sesuai dengan nilai kontrak. PT KAI hanya bisa menyerahkan barang sebesar 8.015.447 kg dari nilai kontrak sebesar 13.169.921 kg sehingga terdapat kekurangan sebesar 5.154.474 kg.

Masalah lainnya adalah pelaksanaan pembayaran terdapat kelebihan pembayaran sebesar dari Yayasan Pusaka kepada PT KAI sebesar Rp 520.070.182,00.
2 PEGAWAI KERETA API BAGIAN LAPANGAN MELAKUKAN KORUPSI
ini di buktikan adanya penumpan gelap yg naik kereta api denan membayar ke petugas nakal. inilah cara naik kereta api denan biayamurah haya RP 20000 bisa naik kereta bisnis padahal harga tiket asli adala RP11oooo. inilah caranya:
1 pergilah ke stasiun pasar senin untuk naik kereta senja utama solo
2 belilah tket jurusan bekasi agar tidaktertangkap petugas dan tidak di curigai
3 tunggulah kereta . apbila kereta datang masuklah gerbong paling belakang nanti disana sudah ada rombongan oknum dan bayarlah ke ke ketua rombongandan apabila ditanya kondektur katan saya adl rombongan
4 nikmatilah perjalanan dengan tiket tak halal

Jumat, 08 Mei 2009

puisi

Ketika Rintik Menabuh Gendang Tanah

Pagi tak bisa kaukutuk sunyi
ketika rintik menabuh gendang tanah
basah berkeciprat tanpa henti
sehingga menghanyutkan segala mimpi pada matahari

Jangan kau selimuti bisu dengan amarahmu
karena hujan telah menyuarakan deras hingga ke sudut lamun
dan sekarung sajak ketakutan telah jadi pesta srigala-srigala fajar

Jadi, Percuma sadarmu kau bungkam dengan dangdut atau ska
Karena ia akan mandi dan bergegas menulis puisi



---------

Kupikir Kau Menyusui Bulan

Kupikir kau telah menyusui bulan
yang sedari tadi merengek-rengek pada malam
sambil mencambukkan temaram pada traffict light dan halte tua
ketika seluruh kota membisu dalam kegelapan yang menjelaga

nyatanya kau sibuk menyeret-nyeret gerbong-gerbong susu
menuju lingkaran payudara yang menghujamkan puting didadamu

lalu apa yang membikin bulan nyenyak dalam pendar?
seorang laki-laki tua memilin kota menjadi penis berwajah boneka


---------

Tentang Puisi

Sudah lama puisi-puisi hidup dalam penjara
berharap kata-kata akan datang membawa gergaji
memutuskan rantai dan jeruji besi keterasingan yang
menjadikan puisi hanya sekedar sabun cuci

tapi mengapa katakata selalu saja membawa kado dengan pita merahmuda
untuk para petugas penjaga?

Sementara aku hanya penyair yang selalu saja kehabisan titik dan koma
Bahkan sebelum tiba di pintu gerbang tandabaca.

Haruskah puisi mati bunuh diri?


-----------

Maka Akulah Doa

Maka akulah doa yang terpahat dari batu terkutuk.
Malam jatuh pada suara mantraku
Lalu tumbuh dusundusun tanpa penghuni ketika bulan memilih sabit
Dan kalelawar membangun sarang di gedung pencakar langit


Kudendangkan lagi koor gereja tua
Seperti Isa yang terombang ambing angin diatas tiang bendera
Sayupsayup terdengar suara sangkakala
Dan kematian pun hinggap diujung senyum

Maka aku pun bersiap dibaca ribuan jiwa
hingga tiba di perisitirahatan terakhir
lalu menjelma menjadi bunga hitam di batu nisan

maka akulah doa. Kau percaya?


-------

Diam-Diam kau catat Kesunyianmu

Diam-diam kau catat kesunyianmu
Di ujung senja Pantai itu

tak ada lagi kenangan yang tercecer
butiran pasir telah menyimpan jejakmu
pada kantong matahari yang menggantung di retinamu

”mungkin aku bintang jatuh
Yang ingin hidup dalam 1000 harapan,” bisikmu
Mengadop sebait puisi

Diam-diam kau baca lagi kesunyianmu
Hingga kita lupa menghitung hari

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

BEBERAPA bulan lalu saya sering beranjangsana ke salah satu lembaga legislatif daerah yang berada di negeri tetangga Republik Mimpi. Suatu siang ba’da Dzuhur, seorang anggota Sekretaris Dewan (Sekwan) yang biasa mengurus permasalahan persidangan berpapasan dengan saya di tangga. Dia baru saja keluar dari ruang sidang. Wajahnya tampak masam. Saya beri salam kepadanya.
Dengan muka serius, tanpa ditanya, bapak tersebut berkata, “Saya baru saja disuruh keluar oleh anggota. Mereka pleno di dalam, tetapi tak seorang pun selain anggota dewan yang boleh mengikuti pleno. Kami, semua sekwan, disuruh keluar”
Sidang pleno adalah sidang yang dihadiri oleh seluruh anggota dewan, termasuk pimpinan fraksi, pimpinan komisi, dan juga pimpinan dewan itu sendiri. Biasanya, dalam pleno ada beberapa anggota sekwan yang ikut sidang untuk mengurus bermacam-macam keperluan sidang seperti menyiapkan notulensi rapat, mengetik resume, menjaga sound-system agar tidak krodit, dan lainnya. Namun kali ini pleno agaknya istimewa. Sangat mungkin, yang dibahas materinya bersifat sangat rahasia sehingga hanya anggota dewan terhormat yang boleh tahu.
Dengan kerdipan mata, bapak anggota sekwan tersebut berbisik kepada saya. “Tapi kita juga akan tahu apa isi rapat itu Pak. Diam-diam saya sudah tekan tombol on di mic mereka, jadi seluruh isi pembicaraan di dalam otomatis akan terekam. Mereka tidak mau tahu yang seperti itu.”
Begitulah. Sidang yang penuh rahasia tersebut telah berakhir. Saya sebenarnya tidak mau ikut campur apa yang telah dibahas. Beberapa hari kemudian, ketika saya bertemu lagi dengan si bapak anggota sekwan itu, tanpa ditanya dia yang memang sudah akrab dengan saya bercerita. “Pak, ada berita baru. Kemarin, mereka semua ternyata membahas laporan pertanggungjawaban Pimpinan Eksekutif di kota ini. Mereka bilang bahwa jika LPJ itu mau mulus finalisasinya, maka masing-masing anggota minta Avanza satu buah. Semua anggota minta itu kecuali seorang yang memang anti dengan yang begituan. Cuma seorang yang menolak. Jika tidak diberikan, maka LPJ-nya akan diganjal.”
Saya terkejut. Masak sih? Bukankah ada banyak anggota di gedung itu yang selama ini dikenal anti yang seperti itu? Saya terus terang tidak percaya.
Bapak anggota sekwan itu tersenyum, “Ya kenyataannya demikian Pak. Jika Bapak tidak percaya, saya masih menyimpan rekaman sidangnya. Lengkap Pak.”
Sore itu saya pulang dengan hati yang masygul. Ada rasa tidak percaya namun itulah kejadiannya. Saya ingat satu pepatah, “Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang berhembus.” Ya, jika pohon itu tidak kokoh, maka ia akan ikut berlenggak-lenggok mengikut ke mana hembusan angin bertiup.
Di sisi lain saya juga bersyukur. Ya, saya bersyukur masih bisa menghidupi keluarga saya, menyekolahkan dan membesarkan anak, membeli buku-buku, dan sebagainya dari uang halal hasil dari ikhtiar saya sendiri. Saya sangat bersyukur Allah SWT telah memberikan saya keterampilan menulis cepat dan hasrat membaca yang kuat, sehingga dengan ini saja kami bisa hidup, walau tidak mewah.
Sahabat saya yang sering bersama-sama dalam banyak kesempatan malah berkata, “Saya tidak mau jadi anggota dewan. Bukannya apa-apa. Kalau saya jadi seperti mereka, saya takut lebih pintar cari duit ketimbang mereka.” Dia tertawa lepas. Sahabat saya ini adalah seorang pengusaha yang pernah memiliki belasan perusahaan. Namun karena terlalu baik, sekarang dia hanya mengelola sisa-sisanya. “Rezeki nggak akan tertukar, ” demikian alasannya mengapa dia terlihat selalu enjoy.
Beberapa hari setelah peristiwa itu saya kembali bertemu dengan anggota Sekwan, namun bukan si bapak tadi. Kali ini seorang perempuan berkerudung, salah seorang pimpinan sekwan yang saya tahu pasti juga rakus terhadap uang. Dia “tidak korupsi”, tetapi terbiasa melakukan mark-up biaya dan menyunat anggaran. Dari proyek-proyek yang ada, secara terus terang dia selalu minta bagian 30 persennya.
“Sebagian dari yang 30% itu buat dana THR anggota dewan, kitalah yang harus menyediakan. Karena dalam anggaran yang resmi kan kita tidak boleh ada pos untuk THR, ” kilahnya.
Saya kembali prihatin dan bersyukur. Prihatin karena untuk merayakan Iedul Fitri saja yang seharusnya kembali kepada kesucian, ternyata uangnya berasal dari “comberan”. Ini jelas tidak benar. Dan saya bersyukur tidak seperti itu. Tapi sudahlah, ini memang kenyataannya. Saya bukanlah siapa-siapa dan ingin tetap memelihara prasangka baik terhadap mereka.
Suatu hari, saya dan sahabat saya yang pengusaha itu menengok seorang Ustadz yang baru saja sembuh dari sakit panjangnya. Dia yang juga anggota dewan, tingkat pusat malah, berkata kepada kami, “Di sana (maksudnya di institusi legislatif pusat), semua macam godaan tersedia. Dari yang kecil, sampai yang sangat besar. Dari benda mati hingga yang hidup. Jika dahulu kita paling menemui ujian seputar pengajian, maka sekarang ini segalanya ada. Saya berani bilang, semua anggota itu sakit. Ya sakit fisik ya sakit jiwanya…”
Kepada orang yang sangat saya hormati ini, saya berpesan, “Sudahlah tad, apa yang ada di sana jangan terlalu dipikirkan. Kami tidak mau kehilangan orang yang menjadi penjaga moral dakwah ini lagi setelah Allahuyarham Ustadz Rahmat Abdullah tiada. Mudah-mudahan Allah SWT menguatkan kita semua, wabil khusus saudara-saudara kita itu agar bisa kembali kokoh sebagai Rijal ad Da’wah. Semoga mereka bisa sungguh-sungguh berperan sebagai penjaga al-haq di sana, yang mampu mewarnai institusi itu dengan Sibghatullah, bukan malah terwarnai dengan Sibghatusyaiton yang memang sudah lama bercokol di sana.”
Perjuangan memang masih sangat panjang. Dan saya lebih memilih jalan yang sunyi, bukan jalan gerombolan. Saya lebih menyukai sniper, bukan infanteri.
(Medio awal Februari 2008) (Sumber: www.eramuslim.com)

Kamis, 07 Mei 2009

korupsi

AWALNYA diartikan sebagai busuk, rusak atau dapat disuapi. Kata itu berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus, yang kemudian dalam bahasa Inggris dan Perancis ditulis corruption, dan dalam bahasa Indonesia disebut korupsi. Sehingga jika dikaitkan dengan perilaku mereka yang berbuat, korupsi yang dalam bahasa Belanda disebut kurruptie merupakan tindak kejahatan yang dimasukan dalam ranah hukum pidana.

Istilah korupsi pertama kali dipergunakan dalam hukum Indonesia dalam Peraturan Penguasa Perang No. Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan Korupsi. Kemudian, dimasukan juga dalam UU No. 24/Prp/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini dicabut dan diganti dengan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjunya diganti dengan UU No.31 Tahun 1999, dan terakhir diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Selain berbagai ketentuan tersebut, masih banyak lagi peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang dibuat untuk mencegah perbuatan korupsi. Padahal, mengenai upaya melawan korupsi, meskipun masih sederhana, seperti yang disebut dalam KUHP, sudah dimulai sejak penjajahan Belanda sejalan dengan perkembangan zaman. Namun sebagaimana kita saksikan bahwa salah satu isu yang menjatuhkan Orde Lama maupun Orde Baru adalah membudayanya korupsi, bahkan Indonesia saat ini masih digolongkan sebagai negara terkorup di dunia.

Yang luar biasa, menurut Transparency International para pelaku utamanya adalah mereka yang memiliki posisi strategis dan terhormat di lembaga-lembaga penegak hukum dan DPR. Karena itu wajar jika pemberantasan korupsi sulit dilakukan. Bahkan, tidak jarang kita melihat di lembaga-lembaga tersebut, para pelaku korupsi bisa melakukan money-laundering melalui penghentian penyidikan ataupun putusan bebas.

Kesulitan lain melawan korupsi adalah pengembalian aset hasil kurupsi yang dilarikan atau disembunyikan di negara lain. Karena perbedaan sistem hukum dan atau belum terbukanya kerjasama antar negara untuk hal itu. Sehingga, kejahatan korupsi yang semula merupakan masalah domestik suatu negara tertentu, kini menjadi masalah internasional, seiring dengan sifat korupsi yang berubah menjadi kejahatan transnasional.

Untuk itu selaku badan dunia, Perserikatan Bangsa Bangsa merasa perlu untuk memfasilitasi kerjasama antar-negara dalam pemberantasan korupsi, melalui negara-negara pihak penandatangan konvensi anti korupsi (UNCAC/United Convention Against Corruption). Di mana salah satu tujuannya membangun kerjasama dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, agar tidak terjadi perbedaan sistem hukum diminta kepada negara-negara yang telah meratifikasi segera menyesuaikan dengan ketentuan dalam konvensi tersebut.

Sejak tahun 2006 UNCAC merencanakan mengadakan konferensi tahunan. Maka, untuk menepis keraguan berbagai lembaga swadaya masyarakat atas kesungguhan pemerintah melawan korupsi, Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Anti-Korupsi Sedunia ke-2, yang sebelumnya diselenggarakan di Oman, Yordania. Dalam forum ini secara tegas Presiden SBY menyerukan kepada negara-negara di dunia untuk bersatu melawan tindak pidana korupsi. Pintanya, perbedaan sistem hukum antar-negara yang sering jadi penghalang dalam pengembalian aset (asset recovery), seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang tidak berarti dibanding dampak merusak dari korupsi.

Namun sebagaimana diketahui di akhir konferensi, bahwa seruan Indonesia yang didukung oleh kelompok G-77 dan Cina atau negara-negara berkembang itu tidak mendapat dukungan negara-negara maju di mana aset jarahan para koruptor itu disimpan. Meski demikian kita tidak boleh patah arang, perang melawan korupsi tetap harus dikobarkan karena telah menjadi kanker di semua bidang kehidupan, sekaligus untuk menghapus rasa malu bangsa yang berpredikat terkorup di dunia. From the start, if we want to win this war, we have to wage sustained, systemic and indiscriminate efforts that would be armed by political commitment from the top and across all sectors.

sejarah indonesia

MUNGKIN tidak banyak yang mengetahui kapan lahirnya istilah Indonesia. Bahkan, yang melahirkan istilah itu sendiri juga tidak pernah tahu bahwa nama yang ia ciptakan itu di kemudian hari akan menjadi nama bangsa dan negara yang menurut The Essensial di usianya yang ke 200 nanti, yakni di Tahun 2050 akan menjadi negara yang memiliki kekuatan ekonomi ke-5 dari Big The G-Five setelah Uni Eropa dan mengalahkan Jepang.

Menurut majalah ilmiah tahunan yang diterbitkan di Singapura, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) Volume IV Tahun 1850 pada halaman 254 dalam tulisan James Richardson Logan, orang Skotlandia yang memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Edinburgh disebutkan “Mr. Earl (Samuel Wilson Earl, ahli etnologi bangsa Inggris) suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favor of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or Indian Archipelago”. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapanya lebih baik. Maka, lahirlah istilah “Indonesia”.

Indonesia yang sebelumnya merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu, pertama kali digunakan oleh putra ibu pertiwi Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) untuk menyebut biro pers yang didirikan ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913, Indonesische Pers-bureau. Kemudian pada dasawarsa 1920-an dipakai oleh tokoh-tokoh kemerdekaan di tanah air, sehingga nama Indonesia memiliki makna politis, yaitu identitas bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Dan pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad, DPR zaman Belanda, yaitu Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutadjo Kartohadikusumo mengajukan mosi kepada pemerintah Belanda agar nama Indonesia diresmikan sebagai pengganti nama Netherlansch-Indie, tetapi ditolak.

Kini Indonesia telah 62 tahun merdeka, 10 tahun yang lalu kita dilanda krisis multi dimensi yang kemudian memberi hikmah lahirnya “pemerintahan reformasi”. Semuanya sependapat bahwa pembangunan ekonomi yang ber-alas stabilitas politik dan meninggalkan pembangunan hukum telah membuat para pelaku kekuasaan, aparatur dan pelaku usaha bertindak moral hazard dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara ter-korup di dunia dan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Karena itu the rule of law and the living ethics harus dijadikan prinsip dasar bagi negara Indonesia yang sejak awal kemerdekaannya memang menyebut dirinya sebagai negara hukum, dimana kepemimpinan negara terdapat pada hukum bukan kepada orangnya. Hukum disini adalah, suatu kesatuan sistem aturan main yang berpuncak pada konstitusi yang ada. Maka, sesuai dengan prinsip supremasi hukum dan supremasi konstitusi, posisi pemimpin negara sesungguhnya cerminan konstitusi.

Meskipun demikian harus disadari bahwa peranan individu atau kelompok yang mengendalikan kekuasaan akan menjadi kunci penting bagi suksesnya pembangunan hukum dan pelaksanaan supremasi hukum. Dalam konteks ini hukum yang dibangun haruslah hukum yang melindungi segenap bangsa, segenap rakyat dan segenap individu dari perlakukan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang, karena diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar kita bahwa negara berkewajiban untuk itu.

Ke depan, kita semua bersyukur bahwa Presiden SBY sejak awal pemerintahannya telah menegaskan sikapnya untuk memberikan perhatian yang lebih besar kepada penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Ini tentu merupakan langkah nyata amanat reformasi dan sekaligus koreksi pemerintahan masa lalu.

Namun Presiden tentu tidak bisa mengemban amanat itu sendirian. Kita semua memiliki kewajiban dan bertanggung jawab untuk itu, agar harapan keadilan hukum dan keadilan sosial dapat diwujudkan. Kita juga sepakat bahwa right or wrong is my country. So let us assure that our country is right and not wrong.

kasus soeharto

Kasus dugaan korupsi Soeharto menyangkut penggunaan uang negara oleh 7 buah yayasan yang diketuainya, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.

Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999

Uang negara 400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp 400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.

Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.

Hutomo Mandala Putra bersama bersama Tinton Suprapto, putra bungsu Soeharto, pernah memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di Citeureup, Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tapi gagal.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Surat Keputusan Penghentian Penuntutan

Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006.

12 Juni 2006, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan Soeharto yang diajukan oleh berbagai organisasi. Dalam sidang putusan praperadilan, hakim Andi Samsan Nganro menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas nama terdakwa HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006 adalah tidak sah menurut hukum, dan menyatakan tuntutan terhadap HM Soeharto tersebut dibuka dan dilanjutkan. [1] [2]

[sunting] Garis waktu

[sunting] 1998

  • 1 September 1998
    • Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan-yayasan yang dikelola Soeharto, dari anggaran dasar lembaga tersebut.
  • 6 September 1998
    • Soeharto mengumumkan kekayaannya melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). "Saya tidak punya uang satu sen pun...," kata Soeharto. Dalam wawancara dengan TPI, Soeharto menyatakan tak memiliki kekayaan seperti pernah dilansir media massa.
  • 9 September 1998
    • Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden Habibie serta Menteri Pertahanan dan Keamanan agar memberikan perhatian ekstraketat dan melindungi Soeharto dari penghinaan, cercaan, dan hujatan.
  • 11 September 1998
    • Pemerintah Swiss menyatakan bersedia membantu pemerintah RI melacak rekening-rekening Soeharto di luar negeri.
  • 15 September 1998
  • 21 September 1998
    • Jaksa Agung Andi M. Ghalib berkunjung ke rumah Soeharto di Jalan Cendana untuk mengklarifikasi kekayaan Soeharto.
  • 25 September 1998
    • Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa untuk mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar negeri.
  • 29 September 1998
    • Kejagung membentuk Tim Penyelidik, Peneliti dan Klarifikasi Harta Kekayaan Soeharto dipimpin Jampidsus Antonius Sujata.
  • 13 Oktober 1998
    • Badan Pertanahan Nasional mengumumkan tanah Keluarga Cendana tersebar di 10 provinsi di Indonesia.
  • 22 Oktober 1998
    • Andi M Ghalib menyatakan, keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya.
  • 28 Oktober 1998: Tim Pusat Intelijen Kejaksaan Agung memeriksa data tanah peternakan Tapos milik Soeharto.
  • 21 November 1998
    • Presiden Habibie mengusulkan pembentukan komisi independen mengusut harta Soeharto. Tapi, usulan ini kandas.
  • 22 November 1998
    • Soeharto menulis surat kepada Presiden Habibie, isinya tentang penyerahan tujuh yayasan yang dipimpinnya kepada pemerintah.
  • 2 Desember 1998
    • Presiden Habibie mengeluarkan Inpres No. 30/1998 tentang pengusutan kekayaan Soeharto.
  • 5 Desember 1998
    • Jaksa Agung mengirimkan surat panggilan kepada Soeharto.
  • 7 Desember 1998
    • Di depan Komisi I DPR, Jaksa Agung mengungkapkan hasil pemeriksaan atas tujuh yayasan: Dharmais, Dakab, Supersemar, Amal Bhakti Muslim Pancasila, Dana Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora. Sejumlah yayasan memiliki kekayaan senilai Rp 4,014 triliun.
    • Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.
  • 9 Desember 1998
    • Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung menyangkut dugaan penyalahgunaan dana sejumlah yayasan, program Mobil Nasional (mobnas), kekayaan di luar negeri, perkebunan dan peternakan Tapos.
    • Soeharto diperiksa oleh Tim 13 Kejaksaan Agung diketuai JAM. Pidsus Antonius Sujata selama 4 jam di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dengan alasan keamanan Soeharto, tempat pemeriksaan tidak jadi dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung.
  • 28 Desember 1998
    • Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Hasan Basri Durin mengungkapkan, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum atau perusahaan menguasai 204.983 hektare tanah bersertifikat hak guna bangunan (HGB) dan hak milik (HM).
  • 30 Desember 1998
    • Mantan Wakil Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, seusai dimintai keterangan di Kejaksaan Agung, menyatakan pembuatan Keppres dan Inpres tentang proyek mobil nasional Timor adalah perintah langsung dari mantan presiden Soeharto.

[sunting] 1999

  • 12 Januari 1999
    • Tim 13 Kejaksaan Agung mengungkapkan, mereka menemukan indikasi unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan Soeharto.
  • 4 Februari 1999
    • Kejaksaan Agung memeriksa Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulung Soeharto, sebagai bendahara Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan yang dipimpin Soeharto.
  • 9 Februari 1999
    • Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp 5,7 triliun.
    • Jaksa Agung Andi M. Ghalib melaporkan hasil investigasi 15 kedutaan besar RI yang menyimpulkan tidak ditemukan harta kekayaan Soeharto di luar negeri. Laporan dari Belanda menyebutkan ada sebuah masjid di daerah Reswijk, Belanda yang dibangun atas sumbangan Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Kastorius Sinaga, anggota Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita), meragukan laporan Jaksa Agung itu.
  • 11 Maret 1999
    • Soeharto, melalui kuasa hukumnya, Juan Felix Tampubolon, meminta Jaksa Agung menghentikan penyelidikan terhadapnya atas dugaan KKN.
  • 13 Maret 1999
    • Soeharto menjalani pemeriksaan tim dokter yang dibentuk Kejaksaan Agung di RSCM.
  • 16 Maret 1999
    • Koran The Independent, London, memberitakan Keluarga Cendana menjual properti di London senilai 11 juta poundsterling (setara Rp 165 miliar).
  • 26 Mei 1999
    • JAM Pidsus Antonius Sujata, Ketua Tim Pemeriksaan Soeharto dimutasikan.
  • 27 Mei 1999
    • Soeharto menyerahkan surat kuasa kepada Kejagung untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan Austria) .
  • 28 Mei 1999
    • Soeharto mengulangi pernyataannya, bahwa dia tidak punya uang sesen pun.
  • 30 Mei 1999
    • Andi Ghalib dan Menteri Kehutanan Muladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya.
  • 11 Juni 1999
    • Muladi menyampaikan hasil penyelidikannya bahwa pihaknya tidak menemukan simpanan uang Soeharto di bank-bank Swiss dan Austria.
  • 9 Juli 1999
    • Tiga kroni Soeharto yaitu Bob Hasan, Kim Yohannes Mulia dan Deddy Darwis diperiksa Kejagung dalam kasus yayasan yang dikelola Soeharto.
  • 19 Juli 1999
    • Soeharto terserang stroke dan dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan.
  • 11 Oktober 1999
    • Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah.
  • 6 Desember 1999
    • Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid membuka kembali pemeriksaan kekayaan Soeharto.
  • 6 Desember 1999
    • Jaksa Agung baru, Marzuki Darusman mencabut SP3 Soeharto.
  • 29 Desember 1999
    • Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan Soeharto atas pencabutan SP3.

[sunting] 2000

  • 14 Februari 2000
    • Kejagung memanggil Soeharto guna menjalani pemeriksaan sebagai tersangka tapi tidak hadir dengan alasan sakit.
  • 16 Februari 2000
    • Jaksa Agung Marzuki Darusman membentuk Tim Medis untuk memeriksa kesehatan Soeharto.
  • 31 Maret 2000
    • Soeharto dinyatakan sebagai tersangka penyalahgunaan uang dana yayasan sosial yang dipimpinnya.
  • 3 April 2000
    • Tim Pemeriksa Kejagung mendatangi kediaman Soeharto di Jalan Cendana. Baru diajukan dua pertanyaan, tiba-tiba tekanan darah Soeharto naik.
  • 13 April 2000
    • Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota.
  • 29 Mei 2000
    • Soeharto dikenakan tahanan rumah.
  • 7 Juli 2000
    • Kejagung mengeluarkan surat perpanjangan kedua masa tahanan rumah Soeharto.
  • 14 Juli 2000
    • Pemeriksaan Soeharto dinyatakan cukup dengan meminta keterangan 140 saksi dan siap diberkas Tim Kejagung.
  • 15 Juli 2000
    • Kejagung menyita aset dan rekening yayasan-yayasan Soeharto.
  • 3 Agustus 2000
    • Soeharto resmi sebagai tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta.
  • 8 Agustus 2000
    • Kejaksaan Agung menyerahkan berkas perkara ke PN Jakarta Selatan.
  • 22 Agustus 2000
    • Menkumdang Yusril Ihza Mahendra menyatakan proses peradilan Soeharto dilakukan di Departemen Pertanian, Jakarta Selatan.
  • 23 Agustus 2000
    • PN Jakarta Selatan memutuskan sidang pengadilan HM Soeharto digelar pada 31 Agustus 2000 dan Soeharto diperintahkan hadir.
  • 31 Agustus 2000
    • Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya. Tim Dokter menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua Lalu Mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatan Soeharto.
  • 14 September 2000
    • Soeharto kembali tidak hadir di persidangan dengan alasan sakit.
  • 23 September 2000
    • Soeharto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan syaraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi. Berdasar hasil tes kesehatan ini, pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di persidangan.
  • 28 September 2000
    • Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.

Sumber: Tempo

dunia pendidikan perihatin

Guebukanmonyet!

Seeing the world differently

Universitas Negeri adalah Penghasil Koruptor Terbesar?

with 141 comments

logo_ui.pngUniversitas Indonesia selalu membanggakan dirinya sebagai salah satu universitas terbaik di Indonesia, sebuah pernyataan yang memang tidak salah. Universitas Indonesia begitu bangga karena banyak lulusannya yang menjadi pejabat, mereka bangga karena banyak lulusannya jadi menteri ini, menteri itu, Dirjen ini, dan Dirjen itu sehingga tidak heran apabila sebagian besar murid Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta bermimpi untuk bisa berkuliah di universitas tersebut. Begitu juga dengan universitas negeri lainnya, mulai dari Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gajah Mada, hingga Universitas Padjajaran bangga karena telah banyak menghasilkan petinggi negara bagi Indonesia. Tapi tidak ada satu universitas negeripun yang mau dengan jujur mengakui bahwa mereka adalah penghasil koruptor terbesar di negeri ini. Memprihatinkan.

Tidak bisa dipungkiri bangsa ini harus berterima kasih kepada para universitas negeri yang telah memberikan lulusan-lulusan berkualitas kepada masyarakat. Para lulusan terbaik telah dihasilkan untuk turut membangun bangsa ini, tapi membangun bangsa ini ke arah mana?

logoitb.gifSeperti yang kita semua tahu, bangsa ini adalah salah satu bangsa terkorup di dunia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sebuah artikel di situsnya menyebutkan bahwa Indonesia berada di ranking lima negara paling korup di dunia berada satu level dengan negara-negara seperti Bangladesh, Nigeria, Burma, Haiti, Angola, Azerbaijan, Kamerun, dan Tajikistan. Sebagai anak bangsa, saya benar-benar malu melihat kenyataan bahwa Indonesia, negara yang begitu kaya raya, disamakan dengan negara seperti Bangladesh atau Haiti. Tanpa bermaksud mengecilkan negara-negara tersebut, tapi akal sehat saya mengatakan bahwa bangsa Indonesia jauh lebih “diberkati” oleh Tuhan dengan kekayaan alam yang begitu melimpah ruah. Koes Plus lewat lagunya menggambarkan betapa luar biasanya kekayaan alam kita, “Kata orang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Ini tanah surga Bung!

Apabila para universitas negeri mengaku bahwa mereka adalah pemasok utama pejabat tinggi bagi Indonesia maka pada saat yang bersamaan mereka seharusnya dengan gagah berani juga mengakui bahwa mereka adalah pemasok utama koruptor bagi negeri ini, seperti para pejabat di negeri ini yang tidak malu-malu, karena mungkin sudah tidak punya malu, melakukan praktek korupsi.

logo_unpad.jpgUniversitas negeri sebenarnya bukan satu-satunya pihak yang harus disalahkan, universitas swasta sebagai pusat pendidikan bagi generasi muda Indonesia, yang sayangnya juga tampak diam-diam saja melihat praktek korupsi seakan-akan korupsi memang sudah menjadi fenomena biasa di Indonesia, juga memiliki kewajiban untuk memperbaiki mental bangsa. Tapi menurut saya para universitas negeri memiliki kewajiban tidak tertulis untuk menjadi pelopor terjadinya gerakan anti korupsi di Indonesia, toh namanya juga universitas negeri. Universitas negeri seharusnya sadar bahwa pendidikan adalah solusi jangka panjang paling efektif untuk memberantas praktek korupsi, karena menjadi seorang koruptor bukan tentang masalah pintar atau tidaknya seseorang tapi lebih merupakan masalah karakter atau mental.

Saran saya bagi para universitas negeri adalah menciptakan kelas baru bagi seluruh fakultas yang dimiliki. Sebut saja “Pelajaran Anti Korupsi” dimana melalui pelajaran tersebut para mahasiswa diajarkan betapa menjijikannya praktek korupsi di dalam sebuah bangsa yang begitu miskin dan tertinggal seperti Indonesia ini. Ciptakan sebuah pelajaran atau kurikulum terpadu yang dapat mengajarkan kepada para mahasiswa bahwa kedamaian hati jauh lebih penting dari kedamaian materi. Seperti yang sudah saya sebutkan pada artikel sebelumnya, mengubah mental korup para petinggi negara yang berasal dari generasi tua walau bukannya tidak mungkin tapi sangat lah sulit, masa depan cerah tanpa korupsi bisa diharapkan datang dari generasi muda dan pendidikan adalah sebuah alat yang paling jitu untuk mencapai kondisi itu.

Sukses Indonesiaku.